Cute Purple Pencil

Sabtu, 14 Februari 2015

Mengidentifiasi Isi Novel Angkatan 20 – 30an


1

.       Judul novel : Siti Nurbaya
2.       Penulis : Marah Rusli
3.       Tahun terbit : 1922
4.       Ringkasan cerita :

Seorang Penghulu di Padang bernama Sutan Mahmud Syah yang isterinya bernama Sitti Maryam mempunyai seorang anak tunggal laki-laki bernama Samsul Bahri. Rumah mereka berdekatan dengan rumah seorang saudagar yang merupakan seorang pedagang yang terbilang cukup kaya dan ternama yaitu Baginda Sulaeman, yang mempunyai seorang putri tunggal bernama Sitti Nurbaya. Ibunya meninggal saat Siti Nurbaya masih kanak-kanak, maka bisa dikatakan itulah titik awal penderitaan hidupnya. Sejak saat itu hingga dewasa dan mengerti cinta ia hanya hidup bersama Baginda Sulaiman, ayah yang sangat disayanginya. Dua keluarga ini adalah dua keluarga yang bersahabat karib.
Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya merupakan sahabat akrab dan juga teman satu sekolah. Tetapi karena kebersamaan, di antara mereka saling tumbuh rasa cinta tetapi belum ada yang berani untuk mengungkapkannya. Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Samsulbahri mengajak Sitti Nurbaya pergi ke gunung padang bersama kedua orang temannya, yaitu Zainularifin dan  Bahtiar untuk bertamasya. Samsulbahri, Zainularifin, dan Bahtiar akan melanjutkan sekolah dokter jawa di Jakarta. Tepat pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke gunung padang. Disana Samsulbahri menyatakan cintanya kepada  Sitti Nurbaya dan mendapatkan balasan. Sejak saat itulah mereka berdua menjalin cinta dan membuat perjanjian untuk sehidup semati.
Pada satu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Samsulbahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta bersama Zainularifin dan Bahtiar. Di sekolah itu, Samsulbahri satu kelas dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang saudagar yang kaya bernama Datuk Maringgih, yang selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatkan secara tidak halal. Singkatnya dia memiliki tabiat yang burukUntuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah pendekar tiga, pendekar empat, dan pendekar lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman, Datuk Maringgih merasa tidak senang. Sehingga dia membuat rencana untuk melenyapkan atau menghancurkan semua kekayaan Baginda Sulaeman. Dengan perantara kaki tangan Datuk Maringgih maka dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, serta perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkan.
Untuk memperbaiki usahanya yang sudah luluh lantak Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih yang selalu memberikan bunga besar dengan tujuan yang jahat. Dan untuk mengembalikan uang pinjamannya itu, Baginda Sulaeman masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan  Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Di samping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih, semua langganan yang telah berhutang pada Baginda Sulaeman ingkar janji dengan cara tidak membayar hutangnya. Dengan demikian hancur sudahlah usaha dagang Baginda Sulaeman sehingga ia menjadi orang yang sangat melarat dan tidak bisa membayar hutangnya kepada Datuk Maringgih.
Karena Baginda Sulaeman tidak dapat membayar hutangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud menyita rumah dan barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika Sitti Nurbaya diserahkan kepadanya untuk dijadikan sebagai istri. Awalnya Sitti Nurbaya menolak dan tidak sudi karena dia telah memiliki kekasih yang sangat ia cintai, di samping itu ia juga tidak mau bersanding bersama seorang lelaki yang sudah tua bangka, tetapi ketika ayahnya  digiring hendak dimasukan ke dalam penjara, maka secara terpaksalah ia mau dijadikan sebagai isteri Datuk Maringgih, walaupun hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa dirinya dan ayahnya itu segera diberitahukan kepada Samsulbahri.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang puasa, pulanglah Samsulbahri ke padang. Seusai menjumpai orang tuanya yang sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari ibunya, bahwa Baginda Sulaeman sedang sakit. Sesampainya ke tempat yang di tuju, ia segera menjumpai Baginda Sulaeman yang sedang terbaring sakit. Tidak lama setelah kedatangan Samsulbahri itu, datanglah Sitti Nurbaya yang memang ayahnya mengharapkan kedatangannya. Maka berjumpalah Samsulbahri dengan Sitti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, berjumpalah mereka kembali dalam pertemuan di malam hari. Keduanya yang saling melepas rindu itu, ternyata tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan akan rindunnya, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya pun berciuman. Pada saat itulah Datuk Maringgih muncul dan terjadilah percekcokan diantara mereka. Karena mendengar kata-kata yang pedas dari Samsulbahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkat dengan sekeras-kerasnya kepada Samsulbahri, tetapi karena Samsulbahri menghindarkan dirinya sambil memegang Sitti Nurbaya, maka pukulan Datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya, akhirnya ia pun tersungkur. Dengan segera Samsulbahri pun langsung menendangnya, karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan itu keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Sitti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu. Karena disangkannya Sitti Nurbaya mendapatkan kecelakaan, maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di gunung padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Samsulbahri, menghindarlah Samsulbahri,dan pada saat itu juga ia berhasil menendang tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada ditangannya terlepas. Sementara itu, datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Sitti Nurbaya itu. Melihat mereka yang berdatangan, larilah Pendekar lima ke tempat persembunyiannya.
Di para tetangga yang berdatangan itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang perbuatan yang telah dilakukan oleh anaknya itu, maka tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu, Samsulbahri pun di usir oleh Sutan Mahmud Syah dari rumahnya, karena menurutnya ia telah mempermalukan keluarganya. Pada malam hari itu juga secara diam-diam Samsulbahri pun pergi ke Teluk Bayur untuk naik kapal menuju Jakarta. Pada pagi harinya, ributlah Sitti Maryam mencari anaknya itu. Setelah gagal mencari kesana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Sitti Maryam ke rumah saudaranya di Padang Panjang. Disana karena terus menyimpan rasa kesedihannya itu, ia pun jatuh sakit.
Sejak kematian ayahnya, Sitti Nurbaya menunjukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia pun berani mengusirnya dan tidak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam, pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia pun berencana akan membunuh Sitti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu, Sitti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya bernama Alimah. Dirumah itu Sitti Nurbaya mendapatkan petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Sitti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul bersama Samsulbahri. Petunjuk dan nasihat Alimah  sepenuhnya di terima oleh Sitti Nurbaya, dan diputuskannya ia akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sutan Mahmud Syah sejak pengusiran diri atas Samsulbahri tersebut. Kepada Samsulbahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Sitti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut, dapat didengar  oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Sitti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka tidak mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Sitti Nurbaya dan Pak Ali menaiki kapal dan mencari tempat yang tersembunyi, maka berkatalah pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Sitti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu, Pendekar Lima pun menaiki kapal tersebut dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut  di kapal, akibat ombak yang sangat besar, lalu pergilah Pendekar Lima mencari  tempat Sitti Nurbaya bersembunyi. Setelah ia mendapatkannya, ia pun menyeret Sitti Nurbaya dan akan membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu, Pak Ali pun bertindak, tetapi ia pun mendapatkan pukulan Pendekar Lima dan tidak mampu melawannya kembali. Sitti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia pun jatuh pingsan. Teriakannya itu terdengar oleh semua orang yang berada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketahuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima pun lari untuk menyembunyikan diri. Sitti Nurbaya pun akhirnya di angkat seseorang ke suatu kamar untuk di rawat.
Akhirnya tak lama kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Samsulbahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Samsulbahri ke kapal untuk mencari Sitti Nurbaya. Alangkah terkejutnya ketika ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali, tentang peristiwa yang menimpa diri Sitti Nurbaya itu. Dengan di antar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Samsulbahri ke kamar Sitti Nurbaya dirawat. Sesampainya ia melihat Sitti Nurbaya terbaring dalam keadaan lemah tak berdaya.
Pada saat itu, tiba-tiba datanglah polisi mencari Sitti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Samsulbahri, diberitahukan kepada mereka bahwa kedatangan mencari Sitti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Sitti Nurbaya yang telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan orang itu di tahan, dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar hal itu, mengertilah Samsulbahri bahwa hal itu ialah tidak lain akal busuk Datuk Maringgih. Ia pun minta kepada polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dulu kepada Sitti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang sangat mengkhawatirkan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu di rawat dulu di Jakarta, sampai ia sembuh sebelum kembali ke Padang. Permintaan Samsulbahri pun dikabulkan, setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Sitti Nurbaya. Setelah Sitti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Dengan senang hati, kabar itu pun di terima oleh Sitti Nurbaya. Ia pun bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang didakwakan atas dirinya itu. Samsulbahri berusaha meminta kepada yang berwajib, agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja, namun permintaan itu tidak dikabulkan. Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Sitti Nurbaya ke Padang dengan di antarkan oleh pihak yang berwajib. Dalam pemeriksaan di padang, ternyata Sitti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah, Sitti Nurbaya dibebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah.
Pada suatu hari, walaupun tidak disetujui oleh Alimah, Sitti Nurbaya pergi membeli kue yang dijagakan oleh Pendekar Empat, yaitu kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Sitti Nurbaya itu telah berisi racun. Setelah penjaga kue itu pergi, Sitti Nurbaya pun makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu, ia merasa kepalanya pusing. Tidak lama kemudian secara mendadak Sitti Nurbaya pun meninggal. Mendengar dan melihat hal itu, terkejutlah ibu Samsulbahri yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Lalu kedua jenazah itu dikebumikan di Gunung Padang bersampingan dengan makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Sitti Maryam dan Sitti Nurbaya itu langsung dikabarkan kepada Samsulbahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Samsulbahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya, ia menulis surat kepada guru dan teman-temannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta berpisah selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Samsulbahri, sehingga Zainularifin pun tidak mengetahuinya. Sesampainya ke kantor pos, Samsulbahri minta berpisah dengan Zainularifin dengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zaenularifin pun memperkenankannya, tetapi dengan tidak diketahui oleh Samsulbahri, ia pun mengikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena ia mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat yang gelap di mana tidak ada seorang pun di sana, Samsulbahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya yang kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat yang dilakukan sahabatnya itu, Zaenularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zaenularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu pun sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud Syah dan Datuk Maringih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Samsulbahri. Ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan, sejak itu lah ia pun berhenti sekolah. Karena ia menginginkan untuk mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia di kirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memedamkan kerusakan-kerusakan yeng terjadi di sana. Karena keberaniannya, maka dalam waktu sepuluh tahun saja, pangkat Samsulbahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari, Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugaskan untuk memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakan mengenai masalah Balasting (pajak) di Padang. Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan ke tempat pemakaman ibu, kekasihnya dan Baginda Sulaeman di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontakan itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontakan itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga ia pun menemui ajalnya. Tetapi sebelum ia meninggal, ia pun sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah diatas timbunan mayat yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas di angkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia  tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya, agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena ada hal penting yang harus dikatakan kepadanya. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata padanya bahwa Samsulbahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadakan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit, karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakan pula kepadanya, bahwa Samsulbahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta dikebumikan di Gunung Padang di antara makam Sitti Nurbaya dan Sitti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas pun meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yaitu Letnan Mas alias Samsulbahri. Kemudian dengan upacara  kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dimakamkanlah jenazah Letnan Mas atau Samsulbahri itu diantara makam Sitti Maryam, Sitti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggalan Samsulbahri, karena sesal dan sedihnya maka beberapa hari kemudian, meninggal pula Sutan Mahmud Syah. Jenazahnya dikebumikan berdekatan dengan makam isterinya, yaitu Sitti Maryam. Dengan demikian dikuburan Gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan menderet, yaitu makam Baginda Sulaeman, Sitti Nurbaya, Samsulbahri, Sitti Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
5.       Masalah yang dihadapi :
                       ·          Usaha ayah Sitti Nurbaya yaitu Baginda Sulaiman yang bangkrut karena tindakan jahat Datuk Meringgih dan menyebebabkan Baginda Sulaiman berhutang kepada Datuk Meringgih.
Bukti :          
Akan tetapi apa boleh buat, Sam! Gadai telah terlanjur ke Cina, tak dapat diubah lagi. Siapa tahu, barangkali Datuk Meringgih inilah yang mendatangkan sekalian malapetaka itu, sehingga ayahku sampai jatuh sedemikian. Sudah itu dengan sengaja dipinjaminya ayahku uang, supaya ia jatuh pula ke dalam tangannya. Jika demikian, sesungguhnyalah Datuk Meringgih itu penjahat yang sebesar-besarnya, yang mengail dalam belanga, menggunting dalam lipatan.
                       ·          Sitti Nurbaya dipaksa untuk menikah dengan Datuk Meringgih karena Baginda Sulaiman tidak dapat membayar hutangnya kepada Datuk Meringgih.
Bukti :
Setelah dipinta oleh ayahku dengan susah payah, barulah diberinya tangguh sepekan lagi, akan tetapi dengan perjanjian, apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar hutang itu, tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang ayahku dan ayahku akan dimasukkannya ke dalam penjara. Hanya bila aku diberikan kepadanya, raksasa buas ini, bolehlah ayahku membayar utang itu, bila ada uangnya.
                       ·          Sitti Nurbaya tidak mau menikah dengan Datuk Meringgih, karena Nurbaya hanya mencintai Samsulbakhri dan tidak mencintai Datuk Meringgih.
Bukti :
"Aku tahu, Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih," kata ayahku pada malam itu kepadaku. "Pertama umurnya telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu. Dan aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsu dan hatinya kepadamu. Aku pun tiada lain. melainkan itulah yang kucitacitakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat engkau duduk bersama-sama dengan Samsu kelak, karena ialah jodohmu yang sebanding dengan engkau.

6.       Adat yang ditampilkan:
·         Tidak boleh menikahi orang yang masih ada nasab atau seketurunan.
Bukti :
 "Lihatlah! Memang benar sangkaku, pikiranmu telah berubah daripada yang diadatkan di Padang ini. Istrimu sudahlah, sebab ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu? Bukanlah ada mamandanya, saudara istrimu? Bukankah anakmu itu kemenakannya? Bukankah dia yang harus memelihara anakmu, menurut adat kita?" mendakwa putri Rubiah. "Atau telah lupa pula engkau adat nenek moyang kita itu?"



·         seorang suami tidak memberi nafkah kepada istrinya dan tidak membiayai sekolah dan kebutuhan anaknya karena hal itu merupakan kewajiban paman/bibi dari anaknya.
Bukti :
“Rupanya Kakanda lupa akan perkataan Kakanda tadi dan adat kita yang asli, yaitu laki-laki tak usah memberi belanja istrinya atau anaknya, karena anak istrinya itu tanggungan mamaknya. Laki-laki dipandang sebagai orang semenda, orang menumpang saja; jadi walaupun istri dan anak banyak tiada menyusahkan.”

"Lihatlah! Memang benar sangkaku, pikiranmu telah berubah daripada yang diadatkan di Padang ini. Istrimu sudahlah, sebab ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu? Bukanlah ada mamandanya, saudara istrimu? Bukankah anakmu itu kemenakannya? Bukankah dia yang harus memelihara anakmu, menurut adat kita?" mendakwa putri Rubiah. "Atau telah lupa pula engkau adat nenek moyang kita itu?"

7.       Kebiasaan yang muncul
·         seorang bangsawan dan saudagar biasanya akan bermain judi dan menyabung ayam.
Bukti :
“Katanya tak patut seorang bangsawan berjudi dan menyabung ayam. Bukankah itu permainan anak raja dan saudagar yang kaya raya? Yang tak beruang dan tak berbangsa itulah yang bekerja, menerima upah dari orang lain; takut kalau-kalau mati kelaparan. Tetapi hamba, masakan sedemikian?” jawab Sutan Hamzah.
·         Saat ada orang meninggal, jenazah akan ditutupi dengan kain putih dan ditaburi bunga, dan apabila yang meninggal adalah bangsawan akan dipayungi dengan payung kuning
Bukti :
Pada keesokan harinya diusunglah sebuah jenazah dari rumah Sutan Mahmud, Penghulu di Padang, yang dipikul oleh empat orang Kepala Kampung. Jenazah ini, sebagai kebiasaan Padang, ditutup dengan kain putih, yang penuh ditaburi bunga-bungaan. Sebelah ke muka, ditengah-tengah, dan sebelah ke belakang, jenazah itu dipayungi dengan payung kuning, tanda yang meninggal itu seorang bangsawan tinggi.
·         Orang berpangkat tinggi di padang, memandang perempuan hanya dari pangkatnya.
Bukti :
"Sampai sekarang aku belum mengerti, bagaimana pikiranmu, tatkala mengawini perempuan itu. Apanya yang kau pandang? Bagusnya itu saja? Apa gunanya beristri bagus, kalau bangsa tak ada, Serdadu Belanda bagus juga, tetapi siapa yang suka menjemputnya?"

"Rupanya bagi Kakanda, perempuan itu haruslah berbangsa tinggi, baru dapat diperistri. Pikiran hamba tidak begitu; bahwa kawin dengan siapa saja, asal perempuan itu hamba sukai dan ia suka pula kepada hamba. Tiada hamba pandang bangsa, rupa atau kekayaannya," jawab Sutan Mahmud yang mulai naik darahnya. 
·         Orang berpangkat tinggi di padang biasa beristrikan lebih dari satu.
Bukti :
Bukankah baik orang berbangsa itu beristri berganti-ganti, supaya kembang keturunannya? Bukankah hina, jika ia beristri hanya seorang saja? Sedangkan orang kebanyakan, yang tiada berpangkat dan tiada berbangsa, terkadang-kadang sampai empat istrinya, mengapa pula engkau tiada?"

"Pada pikiranku, hanya hewan yang banyak bininya, manusia tidak," jawab Sutan Mahmud dengan merah mukanya. "Kalau perempuan tak boleh bersuami dua tiga, tentu tak harus laki-laki beristri banyak."
"Cobalah dengar perkataannya itu! Adakah layak pikiran yang sedemikian? Tiap-tiap laki-laki yang berbangsa dan berpangkat tinggi, malu beristri seorang, tetapi engkau malu beristri banyak. Bukankah sttdah bertukar benar pikiranmu itu? Sudah lupakah engkau, bahwa engkau seorang yang berbangsa dan berpangkat tinggi? Malu sangat rasanya aku, bila kuingat saudaraku, sebagai seorang yang tak laku kepada perempuan, kepada putri dan Sitti-Sitti Padang ini, walaupun bangsa dan pangkatnya tinggi," kata putri Rubiah.

8.       Cara tokoh mengemukakan perasaanya
·         Pengucapannya selalu dihubungkan dengan adat istiadat dan kebiasan masyarakat Padang.
Bukti :
Lihatlah! Memang benar sangkaku, pikiranmu telah berubah daripada yang diadatkan di Padang ini. Istrimu sudahlah, sebab ia tinggal di rumahmu, tetapi anakmu? Bukanlah ada mamandanya, saudara istrimu? Bukankah anakmu itu kemenakannya? Bukankah dia yang harus memelihara anakmu, menurut adat kita?" mendakwa putri Rubiah. "Atau telah lupa pula engkau adat nenek moyang kita itu?"
·         Menggunakan pantun
Bukti :
Dengarlah olehmu pantun ini! 
Seragi kain dengan benang, biar terlipat jangan tergulung.
Serasi adik dengan abang, sejak di rahim bunda kandung."
"Sesungguhnya demikian rupanya," jawab Nurbaya, sambil membalas pantun Samsu:
"Dari Medang ke pulau Banda, 
belajar lalu ke Bintuhan. Tiga bulan di kandung Bunda jodoh 'lah ada pada Tuan."


9.       Pola pikir tokoh pada zaman itu.
·         Masih sederhana dan selalu taat dan patuh pada adat di daerah tersebut.
Bukti :
“Lihatlah! Memang benar sangkaku, pikiranmu telah berubah daripada yang diadatkan di Padang ini.”


10.   Penggunaan bahasa.
·         Menggunakan bahasa melayu dan banyak ditambah dengan pantun.
Bukti :
Sekarang maklumlah engkau, bagaimana takkan khawatir hatiku meninggalkan engkau. Kalau sesungguhnya engkau mendapat sesuatu bahaya di sini, betapakah rasa hatiku? Hancur luluh, tak dapat dikatakan. Jika dekat aku padamu, tak kupikirkan. Hidup mati tidak kuindahkan, asal bersama dengan engkau sebagai kata pantun: 
Berlubur negeri berdesa, ditaruh pinang dalam puan. Biar hancur biar binasa, asal bersama
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

0 komentar:

Posting Komentar